Sabtu, 19 November 2011

A. Konsep Dasar Medis Trauma Capitis Ringan


LAPORAN PENDAHULUAN
A.    Konsep Dasar Medis
1.      Defenisi
Trauma kepala adalah cedera daerah kepala yang terjadi akibat dipukul  atau terbentur benda tumpul. Untuk mengatasi trauma kepala, maka tengkorak kepala sangat berperan penting sebagai pelindung jaringan otak. Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan (At a glance, 2006 ).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi, 2003).

2.    Anatomi Fisiologi

a.    Anatomi

Tengkorak dibentuk oleh beberapa tulang. Masing-masing tulang kecuali mandibula disatukan pada sutura. Sutura dibentuk oleh selapis tipis jaringan fibrosa yang mengunci pinggiran tulang yang bergerigi. Sutura mengalami osifikasi setelah umur 35 tahun. Pada atap tengkorak, permukaan dalam dan luar dibentuk oleh tulang padat dengan lapisan spongiosa yang disebut diploie terletak diantaranya. Terdapat fariasi yang cukup besar pada ketebalan tulang tengkorak antar individu. Tengkorak paling tebal yang dilindungi oleh otot (Westmoreland,1994).



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Jenis-jenis tengkorak  :

1)         Os frontale

2)         Os parientale dextra dan sinistra

3)         Os occipital

4)         Os temporal dextra dan sinistra

5)         Os ethmoidale

6)         Os sphenoidale

7)         Maxilla

8)         Mandibula

9)         Os zygomatikum dextra dan sinistra

10)     Os platinum dextra dan sinistra

11)     Os nasale dextra dan sinistra

12)     Os lacrimale dextra dan sinistra

13)     Vomer

14)     Concha dextra dan sinistra

b.      Fisiologi

Fungsi tengkorak  (Westmoreland,1994) adalah:

1)   Melindungi otak dan indera penglihatan dan pendengaran

2)   Sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja pada kepala

3)   Sebagai tempat penyangga gigi

3.      Etiologi

Cedera  pada  trauma  dapat  terjadi  akibat  tenaga  dari   luar  (Arif Musttaqin, 2008) berupa:

a.         Benturan/jatuh karena kecelakaan
b.         Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru dan ledakan panas.
Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.
4.      Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan penting dalam menentukan berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul atau karena terkena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak (Prince & Wilson, 1995).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada permukaan otak, leserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi serebral (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi (Prince & Wilson, 1995).
5.      Klasifikasi cedera
Klasifikasi Cedera Kepala (Arif Muttaqin, 2008)
a.    Cedera kepala primer
Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal  dan cedera otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etilogis dan patofisiologi yang unik.
1)        Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, namun biasanya ini bukan merupakan penyebab utama timbulnya kacacatan neurologis.
2)        Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
3)        Cedera otak dufusa pada dasarnya berbeda dengan cedera vokal, dimana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas serta biasanya tidak tampak secara mikroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedera ini juga dikenal dengan cedera aksional difusa.  
b.    Kerusakan otak sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala  abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, dimana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang sering dari kerusakan otak sekunder. Hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang kemudian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat gangguan-gangguan metabolisme serebral.
Hipoksia dapat merupakan akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi jalan nafas atau cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pasca cedera kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas.
Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi atau merupakan tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi cerebral.
c.    Edema cerebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan permeabilitas kapiler akibat sawar darah otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih serebral. Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairannya.
Edema cerebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pasca cedera, dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa adanya tampilan suatu konstusi atau pendarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi intracranial. Gangguan aliran darah cerebral trauma yang mengakibatkan anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah “swelling” hipodens difus.
d.   Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak
Adanya satu massa yang berkembang membesar (hemotom, abses atau pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial (epidural/ubdural/intracerebral supra/infratentorial) biasanya akan menyebab pergeseran dan distori otak, bersamaan dengan peningkatan intracranial akan mengarah terjadinya herniasi otak.
6.      Jenis-jenis trauma capitis
Menurut Bornner dan suddarth, 2002 jenis-jenis trauma capitis yaitu :
a.    Fraktur
Fraktur kalvaria atau atap tengkorak apabila tidak terbuka tidak ada hubungan dengan dunia luar tidak memerlukan perhatian segera yang lebih penting adalah intracranialnya. Fraktur basis cranium dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang ditimbulkan sehingga menimbulkan ancaman pada jalan nafas.
b.    Comosio cerebri (gegar otak)
Kehilangan kesadaran sebentar dibawah 15 menit dan tidak berbahaya,
penderita tetap dibawa ke rumah sakit karena kemungkinan cedera yang lain.
c.       Kontusio cerebri
Kehilangan kesadaran lebih lama, dalam kepustakaan saat ini dikenal sebagai DAI (Difus Absonal Injury) yang mempunyai prognosis yang lebih buruk.
d.      Perdarahan intracranial
Perdarahan intracranial dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural atau perdarahan intracranial. Perdarahan epidural dapat berbahaya karena perdarahan berlanjut atau menyebabkan peninggian tekanan intracranial yang semakin berat.
7.      Klasifikasi klinis cedera kepala
Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan diagnostic-klinik penanganan dan prognosisnya (Brunner & Suddarth, 2001) yaitu:
a.    Tingkat I           : Bila dijumpai adanya riwayat kehilangan  kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengalami trauma, kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit neurologist.
b.    Tingkat II          :      Kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya defisit neurologis vokal.
c.    Tingkat III        :      Kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah (walaupun sederhana) sama sekali. Penderita masih bisa bersuara namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh serta gelisah. Respon motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan posisi dekortikasi-deserebrasi.
d.   Tingkat IV        :      Tidak ada fungsi neurologis sama sekali.







8.      Kategori Penentuan Keparahan Cedera Berdasarkan Nilai Glasgow Comma Scale (GCS) Menurut At a glance, 2006.
Penentuan
Keparahan
Deskripsi
Frekuensi
Minor







Sedang






Berat







-     GCS 13 – 15
-    Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit
-    Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada konstusio cerebral, hematoma, abrasi, pusing dan nyeri kepala
-     GCS 9 – 12
-    Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tapi kurang dari 24 jam
-    Dapat mengalami faktur tengkorak
-    Muntah
-    GCS 3 – 8
-    Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam
-    Juga meliputi konstusio cerebral, laserasi atau hematona intracranial
-    Tanda neurologis vocal
-    Teraba fraktur
55 %







24 %






21 %

  1. Evaluasi diagnostic dan laboratorium
Evaluasi diagnostic dan laboratorium (Marilynn, 1999).
-          Scan CT tanpa/dengan kontras : Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam pasca trauma.
-          MRI :  Sama dengan scan CT tanpa/dengan menggunakan kontras.
-          Angiografi cerebral : Menunjukan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan serta trauma.
-          EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
-          Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
-          BAER (Brain Auditori Evoked Respons). : Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
-          PET (Positron Emission Tomografi) : Menunjukan perubahan aktivitas metabolisme dalam otak.
-          Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
-          GDA (Gas Darah Arteri) : Mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
-          Kimia/Eolektrolit Darah : Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK/perubahan mental.
-           Pemeriksaan Toksikologi  : Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab dalam penurunan kesadaran.
-          Kadar Antikonvulsan Darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
10.  Gambaran / Gejala Klinis
Menurut Agus Purwadianto & Budi Sampurna, 2000 gambaran klinis cedera yaitu :
a.    Komosio Cerebri
1)      Penderita pingsan sebentar (kurang dari 10 menit)
2)      Nyeri kepala
3)      Pusing
4)      Mual, muntah
5)      Setelah sadar, penderita menunjukkan gejala-gejala retrograt amnesia (lupa akan kejadian-kejadian pada waktu beberapa saat sebelum terjadinya kecelakaan)
b.    Kontusio Cerebri
1)      Penderita pingsan selama berjam-jam, bahkan berhari-hari sampai berminggu-minggu
2)      Retrograt amnesia lebih berat dan jelas
3)      Ditemukan gejala neurologik yaitu reflek babinski positif serta kelumpuhan nyata
4)      Pada keadaan berat didapatkan denyut nadi yang cepat sekali, suhu badan meningkat, pernapasan chyne strokes dan kesadaran menurun sampai koma.


c.    Perdarahan Epidural
1)      Penderita hanya pingsan sesaat, kemudian sadar kembali akan tetapi beberapa waktu (biasanya 3 x 24 jam) timbul gejala-gejala progresif seperti nyeri kepala hebat, kesadaran menurun dapat sampai koma
2)      Pupil anisokor
3)      Refleks patologik babinski ditemukan unilateral
4)      Ditemukan tanda-tanda gangguan traktus piramidalis seperti hemipareses, refleks tendon yang meninggi dibandingkan dengan sisi kontralateral
d.   Perdarahan Subdural
1)      Nyeri kepala yang makin lama makin berat biasanya di daerah dehidrasi, edema papila nervus optikus (papil edema)
2)      Derajat gangguan kesadaran berbeda-beda tergantung kepada kerusakan yang terdapat di otak.

11.  Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada cedera kepala menurut Arif Muttaqin, 2008.

a.       Hemorhagic

b.      Infeksi

c.       Edema

d.      Herniasi

12.  Faktor-faktor yang mempengaruhi trauma kepala
Faktor-faktor yang mempengarui trauma kepala (Brunner & Suddarth, 2002)
a.    Kardiovaskuler
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah anterior bekontraksi pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan anterior otak yang tidak terlalu besar.
b.    Respiratori
        Adanya edema paru pada trauma kepala dan fase kontraksi paru-paru atau hipertensi paru menyebabkan hipernoe dan berkontraksi. Abnea, edema otak terjadi robekan pada pembuluh darah kapiler atau cairan traumatic yang mengandung protein aksudal yang berisi albumen. Edema otak terjadi karena penekanan pembuluh darah dan jaringan di sekelilingnya.
c.    Metabolisme
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu kecenderungan retensi natrium, air dan hilangnya sejumlah netrogen.
d.   Gastrointestinal
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal setelah trauma kepala tiga hari terdapat respon tumbuh dengan merangsang aktivitas hipotamalus akan merangsang lambung menjadi hiperaditas.
e.    Psikologis
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisi klinis, trauma kepala lain adalah suatu pengalaman yang menakutkan.
13.  Penanganan Cedera Kepala
Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/              emergensi didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap
“6 B”(Arif Muttaqin 2008), yakni:
1)   Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan : suction, inkubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema cerebri.
2)   Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala/otak) dan memerlukan tindakan transfusi.
3)   Brain
Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.
4)   Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5)   Bowel
Seperti halnya di atas, bahwa yang penuh juga cenderung dapat meninggikan TIK.
6)   Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi.
B.  Konsep Asuhan Keperawatan Trauma Capitis
1.      Pengkajian
Data dasar tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital ( Marilynn, 1999 ).

a.       Aktivitas/Istirahat

Gejala         :    Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan
Tanda         :    Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot dan otot spastik.
b.      Sirkulasi
Gejala         :    Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)
Tanda         :    Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang       diselingi dengan bradikardia dan disritmia).
c.       Integritas Ego
Gejala         : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau   dramatis).
Tanda         :    Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
d.      Eliminasi
Gejala         :    Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.

f.       Makanan/Cairan
Gejala         :    Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda         :    Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar dan disfagia).
g.      Neurosensori
Gejala         :    Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda         :    Perubahan kesadaran sampai koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori), Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti perintah. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetri, genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparise, quedreplegia, postur (dekortikasi dan deserebrasi), kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
h.      Nyeri/Kenyamanan
Gejala         :    Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda         :    Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.
i.        Pernapasan
Tanda         :    Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
j.        Keamanan
Gejala         :    Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda         :    Fraktur/dislokasi.
k.      Gangguan penglihatan
Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran cairan  (drainase) dari telinga/hidung  (CSS).
l.        Gangguan kognitif.
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis.
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
Interaksi Sosial
Tanda         :    Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia.
m.    Pemeriksaan Diagnostik
1)       Scan CT tanpa/dengan kontras : Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam pasca trauma.
2)        MRI :  Sama dengan scan CT tanpa/dengan menggunakan kontras.
3)       Angiografi cerebral : Menunjukan kelainan sirkulasi cerebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
4)       EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
5)        Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) dan adanya fragmen tulang.
6)        BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
7)        PET (Positron Emission Tomografi) : Menunjukan perubahan aktivitas metabolisme dalam otak.
8)        Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
9)       GDA (Gas Darah Arteri) : Mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK..
10)   Kimia/Eolektrolit Darah : Mengetahui ketidakseimbangan yang      berperan dalam peningkatan TIK/perubahan mental.
11)   Pemeriksaan Toksikologi : Mendeteksi obat yang mungkin  bertanggung jawab dalam penurunan kesadaran.
12)   Kadar Antikonvulsan Darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
2.      Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1)      Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi dan hematom), edema cerebral, penurunan TD/hipoksia  ditandai dengan  :
Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon motorik, sensorik, gelisah, perubahan tanda vital
Tujuan        :  Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi dan fungsi motorik/sesnsorik.
Kriteria       :   Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Intervensi :
a.    Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
R/ :  Menentukkan pilihan intervensi, penurunan tanda gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau TIK dan atau pembedahan.
b.      Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya Skala Coma Glascow).
R/ :    Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam  menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
-          Evaluasi kemampuan membuka  mata, seperti spontan (sadar penuh), membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri atau tetap tertutup (koma).
R/  :   Menentukan tingkat kesadaran.
-        Kaji respon verbal,  catat  apakah pasien sadar, orientasi  terhadap orang, waktu dan tempat baik atau malah bingung  dan menggunakan kata-kata/frase yang tidak sesuai.
R/ :    Mengukur kesesuaian dalam berbicara dan menentukan  tingkat  kesadaran.       
-       Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan yang bertujuan (patuh terhadap perintah, berusaha untuk menghilangkan rangsang nyeri yang diberikan) dan gerakan yang tidak bertujuan (kelainan postur tubuh). Catat gerakan anggota tubuh dan catat sisi kiri dan kanan secara terpisah.
R/ :    Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemampuan untuk berespon pada rangsangan eksternal dan merupakan petunjuk keadaan kesadaran terbaik pada pasien yang matanya tertutup sebagai akibat pasien trauma atau afasia. Pasien dikatakan sadar apabila pasien dapat meremas atau melepas tangan pemeriksa atau dapat menggerakan  tangan sesuai dengan perintah. Gerakan yang bertujuan dapat meliputi mimik kesakitan atau gerakan menarik atau menjauhi rangsangan nyeri. Gerakan lain (fleksi abnormal dari ekstremitas tubuh) biasanya sebagai indikasi kerusakan serebral yang menyebar. Tidak adanya gerakan spontan pada salah satu sisi tubuh yang menandakan kerusakan pada jalan motorik pada hemisfer otak yang berlawanan (kontralateral).
c.     Pantau TTV
-       Catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan nadi yang semakin berat, observasi terhadap hipertensi pada pasien yang mengalami trauma multiple.
R/ : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada saat  ada fluktasi tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi cerebral lokal atau menyebar. Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan darah diastole merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat juga mengakibatkan kerusakan/iskemia cerebral.
-       Frekwensi jantung, catat adanya bradikardia, takikardia atau bentuk disritmia lainnya.
R/ :    Perubahan pada ritme (paling sering bradikaria) dan disritmia dapat timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
-       Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti adanya periode apnue setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan cheynestokes.
R/ :    Napas yang tidak teratur dapat menunjukkan adanya gangguan cerebral/peningkatan TIK dan memerlukan intervensi yang lebih lanjut termasuk kemungkinan dukungan napas buatan.
d.   Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan dan reaksinya terhadap cahaya.
R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (N.III) dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkoordinasi dari saraf cranial optikus dan okulomtorius.
e.    Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.
R/ : Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak, mempunyai konsekwensi terhadap keamanan dan juga akan mempengaruhi pilihan intervensi.
f.     Kaji letak/gerakan mata, catat apakah  pada posisi tengah atau ada deviasi pada satu sisi atau ke bawah. Catat pula hilangnya refleks  dolls  eye.
R/ : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan lokasi area otak yang terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah kegagalan dalam abduksi pada mata, mengindikasikan penekanan/trauma pada saraf cranial V. Hilangnya dolls eye mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi batang otak dan prognosisnya jelek.
g.    Catat ada tidaknya refleks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk,  babinski dan sebagainya.
R/ :    Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap pasien. Refleks Babinski positif mengindikasikan adanya trauma sepanjang jalur piramida pada otak
h.    Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/posisi netral, sokong dengan gulungan handuk kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
R/ :    Kepala yang miring pada satu sisi  akan menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
i.      Kolaborasi :
-       Tinggikan kepala pasien 15 – 45 derajat sesuai indikasi yang dapat ditoleransi.
R/ :    Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan TIK.
-       Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
R/ :    Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan  vasodilatasi dan volume darah cerebral yang meningkatkan TIK.
-       Berikan obat sesuai indikasi.
Diuretik (manitol, furosemide)
R/ :    Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.
Steroid (dexametason, metilprednisolon).
R/ :    Menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan.
Antikonvulsan (Fenitoin).
R/ :    Untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang.
Analgetik (Kodein).
R/ :    Untuk menghilangkan nyeri.
Sedatif (Difenhidramin).
R/ :    Untuk mengendalikan kegelisahan.
Antipiretik ( Asetaminofen).
R/ :    Mengendalikan demam.
2)         Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeobronchial.
Tujuan      :       Mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien.
Intervensi :
a.       Pantau frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
R/ :    Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi /luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
b.      Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ :    Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
c.       Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien sadar.
R/ :    Mencegah/menurunkan atelektasis.
d.      Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
R/ :    Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trachea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, karena hal tersebut dapat mengakibatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar terhadap perfusi cerebral.
e.       Kolaborasi :
-          Pantau atau gambarkan analisa gas darah, tekanan oksimetri
R/ :    Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
-          Lakukan ronsen toraks ulang
R/ :    Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang berkembang (seperti atelektasis atau bronkopneumonia).
-          Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
R/ :    Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut namun tindakan ini seringkali berguna  pada akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan memberikan jalan napas dan menurunkan risiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
3)    Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neureologis), ditandai dengan :
Disorientasi waktu, tempat dan orang, perubahan dalam respons terhadap rangsang, inkoordinasi motorik, perubahan dalam postur, ketidakmampuan untuk memberitahu posisi bagian tubuh (propiosepsi,), perubahan pola komunikasi, distorsi audiotorius dan visual, konsentrasi buruk, perubahan proses berpikir/berpikir kacau.
Tujuan       :        Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
Kriteria     :         Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya    keterlambatan residu. Mendemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/defisit hasil.
Intervensi :
a.       Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik dan proses pikir
R/ :    Fungsi cerebral bagian atas biasanya terlebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang berkembang setelahnya akibat dari pembengkakan atau perdarahan. Perubahan motorik, persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan perbaikan respons secara perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus menerus pada derajat tertentu.
b.       Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain.
R/ :    Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan  sensasi/kemampuan untuk menerima dan berespons secara sesuai pada suatu stimuli.
c.       Hilangkan suara bising/stimuli yang berlebihan sesuai kebutuhan
R/ : Menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/bingung yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
d.       Buat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan.
R/ :    Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan untuk tidur REM (ketidak adanya tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan persepsi sensorik).
e.       Gunakan penerangan siang atau malam hari.
R/ :    Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan     pola tidur/bangun.
f.       Kolaborasi :
-          Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif.
R/ :    Pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan berfokus  pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik dan keterampilan perceptual.
4)    Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif ditandai dengan : ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk mobilitas ditempat tidur, pemindahan, ambulasi. Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan kontrol otot.
Tujuan              :      Melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur, footdrop.
Kriteria hasil    :      Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit dan/atau kompensasi. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas. Mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
Intervensi :
a.       Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan  yang terjadi.
R/ : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
b.       Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4).
R/ :    Pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/peralatan yang minimal (nilai 1), memerlukan bantuan sedang/dengan pengawasan/diajarkan (nilai 2), memerlukan bantuan/peralatan yang terus menerus dan alat khusus (nilai 3) atau tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai risiko kecelakaan, namun kategori dengan nilai 2 – 4 mempunyai risiko yang terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut sehubungan imobilisasi.
c.       Beri/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.
R/ :    Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.
d.      Berikan perawatan kulit yang cermat, masase dengan pelembab dan ganti linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas dari kerutan (jaga tetap tegang).
R/ :    Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko  terjadinya ekskoriasi kulit.
e.      Pantau pengeluaran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan latihan kandung kemih jika memungkinkan.
R/ :    Pemakaian kateter Foley selama fase akut memungkinkan dibutuhkan untuk jangka waktu yang panjang sebelum memungkinkan untuk dilakukan latihan kandung kemih. Saat kateter dilepas, beberapa metode kontrol dapat dicoba seperti kateterisasi intermiten (selama pengosongan sebagian atau seluruhnya), kateter eksternal, interval di atas pispot memberikan duk inkontinen.
f.        Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh toleransi neurologis dan jantung).
R/ :    Sesaat setelah fase akut cedera kepala dan jika pasien tidak memiliki faktor kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan menurunkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu kandung kemih dan berpengaruh cukup baik terhadap konsistensi feses yang normal dan turgor kulit menjadi optimal.
5)    Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja sillia, statis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respon inflamasi (penggunaan steroid), perubahan sistem integritas tertutup (kebocoran CSS).
Tujuan        :        Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
Intervensi :
a.       Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
R/ :  Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
b.      Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya), catat karakterisitik dari drainase dan adanya inflamasi.
R/ :    Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
c.       Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, mengigil, diaforosis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
d.      Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus dan observasi karakterisitk sputum.
R/ :    Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan risiko terjadinya pneumonia, atelektasis. Catatan : Drainase postural harus digunakan dengan hati-hati jika ada risiko terjadinya peningkatan TIK.
e.       Berikan perawatan perineal, pertahankan integritas dan sistem drainase urine tertutup jika menggunakannya serta anjurkan untuk minum adekuat.
R/ : Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau infeksi yang merambah naik.
f.       Observasi warna/kejernihan urine, catat adanya bau busuk (yang tidak enak).
R/ : Sebagai indikator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih yang memerlukan tindakan dengan segera.
g.      Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami infeksi saluran bagian atas.
R/ :    Menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”
h.      Kolaborasi :
-                 Berikan antibiotik sesuai indikasi.
R/ : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma (perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.
-                 Ambil bahan pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi.
R/ : Kultur/sensitivitas, pewarnaan gram. Gram dapat dilakukan untuk memastikan adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab dan untuk menentukan obat pilihan yang sesuai.
6)        Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan, status hipermetabolik.
Tujuan             :      Mendemonstrasikan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan. Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam batas-batas normal
Intervensi :
a.       Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
R/ : Menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien terlindung dari aspirasi
b.      Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif.
R/ : Bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.
c.       Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ : Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
d.      Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat NGT.
R/ :    Menurunkan risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi.
e.       Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
R/ : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan yang dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
f.       Tingkatkan kenyamanan, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai pasien.
R/ : Dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
g.      Kolaborasi :
-                 Konsultasi dengan ahli gizi.
R/ :    Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh dan keadaan penyakit sekarang.
-                 Pantau pemeriksaan laboratorium seperti albumin darah, zat besi, ureum/kreatinin, glukosa, AST/ALT dan elektrolit darah.
R/ :    Mengidentifikasi defisiensi nutrisi. Fungsi organ dan respons terhadap terapi nutrisi tersebut.
-                 Berikan makan dengan cara yang sesuai seperti melalui NGT, melalui oral dengan makanan lunak dan cairan yang agak kental.
R/ :    Pemilihan rute pemberian tergantung pada kebutuhan dan kemampuan pasien.
7)      Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman, tidak mengenal sumber-sumber informasi, kurang mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta informasi, pernyataan salah konsepsi dan ketidak akuratan mengikuti instruksi.
Tujuan :
-          Berpartisipasi dalam proses belajar.
-          Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan dan potensial komplikasi.
-          Melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Intervensi  :
a.       Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga keluarganya.
R/ :    Memungkinkan untuk menyampaikan informasi yang didasarkan atas kebutuhan.
b.       Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya.
R/ :    Membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan  meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini.
c.       Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
R/ :    Berbagai tingkat bantuan perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual.
d.      Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan dan faktor-faktor penting lainnya.
R/ :    Memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.
e.       Diskusikan dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dari gejala seperti munculnya tanda dan gejala yang pernah dialaminya saat trauma terjadi (pikiran melayang, pikiran kacau, mimpi berulang/mimpi buruk), emosi/fisik yang sulit berespon, perubahan gaya hidup termasuk adaptasi dan tingkah laku yang merusak.
R/ : Dapat menjadi tanda adanya eksaserbasi respon pasca traumatik yang dapat terjadi dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah mengalami trauma.
3.      Implementasi
       Implementasi keperawatan merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana keperawatan dilaksanakan, pada tahap ini  perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah dicatat dalam rencana keperawatan pasien.
Agar implementasi perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya perlu mengidentifikasi prioritas keperawatan pasien kemudian bila telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya (Doengoes, 1999).
4.      Evaluasi
        Tahapan evaluasi merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan dapat dicapai sehingga dalam mengevaluasi efektifitas tindakan keperawatan. Perawat perlu mengetahui kriteria keberhasilan dimana kriteria ini harus dapat diukur dan diamati agar kemajuan perkembangan keperawatan kesehatan klien dapat diketahui dalam evaluasi dapat dikemukakan empat kemungkinan yang menentukan keperawatan selanjutnya yaitu masalah klien dapat dipecahkan, masalah klien tidak dapat dipecahkan atau dapat muncul masalah baru (Doengoes, 1999).   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar